Begitulah Rasulullah minta dengan rela hati kepada orang yang pernah disakiti agar membalasnya sesuai dengan apa yang pernah dirasakannya. Dalam hukum Islam ini disebut hukum Qisas, ertinya balasan yang setimpal. Walaupun demikian, tidak satupun yang hadir berdiri menuntut Qisas kepada Rasulullah. Rasulullah lalu mengulanggi tawarannya sampai tiga kali agar sahabat dan kaumnya tidak segan-segan melakukannya.
Benar juga, maka bangunlah Ukasyah bin Muhsin mendekati Rasulullah. "Sebenarnya aku engan dan tidak sampai hati seandainya engkau tidak menganjurkannya sampai berulangkali. Aku terpaksa memberanikan diri berdiri di sini untuk menceritakan apa yang pernah kualami atas perlakuan Rasulullah dalam perang Badar. Tatkala untaku mendekati untamu, aku turun mendekatimu agar boleh mencium pahamu. Tapi kemudian engkau mengangkat cambuk dan akulah yang terkena cambukmu pada bahagian pinggangku. Aku tidak tahu dan tidak berfikir apakah waktu itu engkau sengaja memukulku atau memukul untamu, tetapi dengan tidak sengaja cambukmu mengenai pinggangku," tutur Ukasyah disaksikan sahabat yang hadir saat itu.
"Apakah mungkin aku mencambukmu wahai Ukasyah?" sahut Rasulullah. Sementara itu Rasulullah menyuruh Bilal untuk mengambil cambuk di rumah Fatimah anak perempuannya.
Begitu sahabat Bilal menuju rumah Fatimah mengambil cambuk, puteri Nabi itu kehairanan.
"Untuk apa ayahku mengambil cambuk ini."
"Ayahmu akan melakukan Qisas," jawap bilal
"Siapakah orang yang sampai hati menuntut Qisas kepada Rasulullah ayahku?" bisik Fatimah.
Tiba di masjid, Bilal menyerahkan cambuk kepada Nabi. Dari tangan Bilal, Nabi menyerahkan cambuk unta itu kepada sahabat Ukasyah agar segera melakukan cambukan balasan atau Qisas seperti yang pernah dideritanya.
Melihat Ukasyah berdiri memegang cambuk dan siap memukul ke punggung, sahabat Abu Bakar berdiri mencegahnya.
"Wahai Ukasyah, terikan Qisas itu pada diriku. aku tidak sampai hati melihat engkau menempelkan cambuk itu ke kulit Rasulullah,"
"Duduklah engkau berdua" ujar Rasululluh kepada sahabat Abu Bakar dan Umar Ibnu Khatab. " Allah telah mengetahui kedudukan dan pengorbananmu," kata Nabi.
Merasa tersinggung atas sikap Ukasyah dan didorong rasa kesetiannya kepada peminpinnya, menyusul bangkit sahabat Ali bin Abi Thalibra.:"Wahai Ukasyah, engkau tahu aku masih hidup di samping Rasulullah SAW kerana itu tetap nekad dan berkeras hati membalas cambukan kepada Rasulullah, ini perutku, dadaku atau punggungku. Silakan pilih mana yang kau sukai, dan cambuklah sekuat tanganmu," kata Ali sambil menyodorkan sebahagian tubuhnya siap menerima cambukan.
Melihat kejadian itu, Rasulullah berkata: "Wahai Ali, Aku tahu kedudukanmu dan pengorbananmu, kerana itu duduklah." Belum cukup pembedaan sahabat Abu Bakar, Umar dan Ali, dua cucu Nabi itu berkata kepada Ukasyah yang tetap menggengam cambuk ditangannya.
"Engkau tahu Ukasyah, bahawa kami adalah cucu beliau. Yang masih ada hubungan darah dengan beliau. Jika engkau mahu membalas Qisas kepada kami itu sama saja engkau menerima Qisas dari Rasulullah. Maka cambuklah kami," kata mereka.
"Duduklah kau berdua" kata Rasulullah kepada dua cucunya Hasan dan Husin. Kemudian Rasulullah berpaling kepada Ukasyah sambil berkata:"Cambuklah Wahai Ukasyah, jika memang benar aku telah memukulmu!"
"Ya Rasulullah, dulu cambukmu mengenai punggugku yang terbuka." jawapnya.
Sesuai dengan permintaan Ukasyah, Nabi lalu membuka bajunya hingga nampak punggungnya yang putih . Kemudian Ukasyah berjalan mendekati Rasulullah dengan cambuk di tangannya. Adengan yang dramatis itu disaksikan oleh para sahabat dengan merunduk dan linangan air mata. Mereka menahan nafas menanti peristiwa yang akan terjadi justeru disaat akhir kehidupan Rasulullah.
Apa yang terjadi, begitu belihat punggung Rasululluh bersih semacam itu maka jatuhlah Ukasyah bersama cambuknya, Ukasyah segera bangun dan mencium Rasulullah dan memeluk pinggangnya sepuas hati. "Siapa orangnya yang sampai hati menerima Qisas darimu ya Rasulullah." katanya.
Suasana tegang yang meliputi adengan itu kini jadi kendor para sahabat yang semula menahan sikap Ukasyah yang tiba-tiba berubah itu. Kepada yang hadir Ukasyah menceritakan apa maksudnya dia minta Qisas kepada Rasulullah itu: " Maksud dan harapanku tiada lain agar tubuhku boleh menempel ketubuhanmu ya Rasulullah. semoga tubuhmu menjadi penghalang api neraka yang menyuluh tubuhku," kata Ukasyah.
Begitu semuanya sudah reda, Rasulullah berkata, ketahuailah bahawa siapa yang ingin melihat ahli surga, maka lihatlah orang ini." Berkata begitu Nabi sambil menunjuk Ukasyah.
Mendengar kata Nabi, para sahabat lalu ramai-ramai memeluk tubuh Rasulullah sambil mencurahkan isak tangisnya. Kepada Ukasyah mereka berkata: " Berbahagialah engkau telah menerima darjat yang tinggi. Dan engkau akan mendampingi Rasulullah di Syurga kelak. Ya Allah mudahkanlah kami untuk menerima syafa'atnya, kerana kemuliaan dan keagungan-MU
DETIK-DETIK TERAKHIR NABI MUHAMAD SAW DAN MALAIKAT IZRAIL
Keadaan Nabi semakin tenat saja dari hari ke hari. Para sahabat sudah sangat cemas semenjak malam isnin. Dan ketikaIsnin pagi Bilal mengalunkan suaranya di Masjid Nabawi, memanggil umat islam untuk menunaikan solat subuh, hingga beberapa lama Nabi belum hadir juga. Bilal lalu berangkat ke rumah beliu. Di sana ia berteriak, " Assalamulaikum, ya Raullullah!".
Nabi tidak menjawap. Fathimah yang keluar.
Alaikas-salam. Kalau ada perlu lain kali saja. Rasulullah sedang panas badannya.
Bilal tidak faham akan jawapan Fathimah ini. Ia kembali ke masjid, menunggu kedatangan Nabi samapi subuh mulai kuning. Waktu hampir terlambat. Maka Bilal kembali ke rumah Rasulullah.
"Assalamu alaika, ya Rasulullah, " teriaknya. "Para makmum sudah menunggu. Telah kuning waktu subuh.
Nabi agak sedar. Dengan tersendat-sendat Nabi membalas salam Bilal, lantas berkata, " Ya bilal, aku tahu fajar telah mulai tiba. Beritahu Abu Bakar supaya menjadi imam dalam sembahyang subuh pagi hari ini. Aku sedang parah, tidak mampu bangun."
Bilal menangis mendengar jawapan ini. Suara tersendat-sendat itu adalah petanda sakit yang parah. Dengan langkah longlai tetapi terburu-buru ia bergegas ke masjid. Di sampaikannya pesan jujungannya kepada Abu Bakar. Maka Abu Bakar pun meju kedepan.
Begitu melihat mihrab yang kosong, Abu Bakar tergugup menangis. Mihrab itu biasanya tempat nabi berdiri dengan gagahnya menjadi imam. Di situ biasanya Rasulullah mengdengungkan ayat-ayat Al-Quran dengan suaranya yang nyaring dan fasih. Peribadinya yang agung, bangun tubuhnya yang berwibawa, terbayang semua pada saat itu. Kini mihrab itu kosong. Abu Bakar menangis kembabali, dan seluruh sahabat juga menangis sehingga suasana subuh hari itu dalam keadaan murung dan kehilangan.
Semakin siang, para sahabat berkumpul-kumpul menanti berita dari rumah Rasulullah. Akhirnya seorang sahabat berseru memanggil Ali dan Fadlal bin Abas. Yang lain-lain terteguh dan cemas. Jangan-jangan...
Ali Fadlal cepat-cepat ke rumah Nabi. Dengan langkah terseret-seret Nabi keluar, dipapah oleh kedua sahabat itu. Tiba di masjid Nabi bersembahyang sunat dua rakaat pendek saja solatnya kali ini. Sesudah itu nabi menaiki mimbar. Kakinya berat sekali waktu mendaki tangga. Badannya lemah. Dan kedua tangannya gementar gementar bertelekan ketangan-tangan tangga itu. Di atas mimbar khutbah di hadapan shabat-sahabatnya. Isinya singkat, namun meresap dan menggeletar hati yang hadir. Air mata bercucuran tidak habis-habis.
" Wahai, umat Islam. Kita hidup di bawah kekuasan Allah dan kasih sayang-Nya. Bertaqwalah kepadanya dan taatilah perintah-perintah-Nya".
Inilah isi khutbah beliu. Lalu nabi turun. Hampir di bawah nabi nyaris jatuh. Untunglah Ali dan Fadlal dengan cepat menangkapnya, langsung dipayang kembali menuju ke rumah. setelah nabi tidak bangun-bangun lagi.
Datanglah saatnya Malaikat Izrail diperintahkan turun oleh Tuhan. "Masuklah kalau kau diizinkannya. Kalau tidak baliklah kemari," begitu pesan Allah kepada malakul-maut. "Berangkatlah dan muncullah dalam rupa yang sopan dan rapi." Maka sang penyabut nyawa turun sebagai seorang A'rabi, berpakaian putih-putih, baunya wangi. Tiba di rumah Nabi Ia bersalam. "Selamat kepadamu, wahai penghuni rumah kenabian."
Nabi sedang payah. Fathimah yang menjawap." Assalamualaikum, ya Rasulullah Salam sejahtera untukmu selamanya. Bolehkah saya masuk?".
Nabi membuka matanya mendengar suara itu. Lalu ia betanya, "Anakku sayang, ada tetamu? Siapa yang di pintu, hai Fathimah?.
Puteri itu menjawap: "Seorang lelaki A'rabi, orangnya bersih dan rapi. Ia memanggil-manggilmu, dan meminta izin untuk masuk. Saya bilang. Rasulullah sedang payah, saya minta untuk kembali lain kali.
Tiba-tiba Nabi memandangi Fathimah dengan tatapan yang menembus jauh. Di dalamnya nampak sinar kelabu yang pekat dan mengabut Fathimah tergetar hatinya sehingga menggigil sekujur badannya.
"Izinkan tamu itu masuk, Fathimah. Tahukah kamu siapa dia anakku?.
Fathimah menggeleng. "Tidak," guamamnya.
"Dia adalah penjemput kenikmatan, pemutus nafsu syahwat dan pemisah pertemuan. Dia adalah malakul-maut."
Fathimah menjerit " Ya Rasululluh. Jadi semenjak hari ini aku tidak akan lagi mendengar suaramu dan menandangi wajah jernih".
Nabi SAW, sebagai seorang ayah yang pengasih ikut larut dalam kesedihan. Jangan menangis, jantung hatiku. Engkau adalah keluargaku yang mula-mula akan bersama denganku pada hari kiamat.'
Mendengar hal ini barulah Fathimah nampak lega. Setelah itu malakul-maut pun masuk. Nabi bertanya, "Engkau datang dengan tujuan apa?"
Izarail menjawap. "Saya datang mahu ziarah. Juga mahu mencabut nyawa kalau tuan izinkan. Tetapi kalau tidak saya akan balik lagi".
Nabi tersenyum dan bertanya, "Engkau sendirian? di mana kau tingalkan Jibrail?"
"Saya tinggal dia di langit dua, berserta malaikat-malaikat lainnya."
"Panggil dia kemari."
Malaikat Jibrail turun, duduk di sebelah kepala Rasulullah. Nabi memandangi Jibrail beberapa lamanya. Dengan sayu Nabi berkata " Hai Jibrail. Mengapa berlambat-lambat? Apa engkau tidak tahu bahawa saat yang dijanjikan itu sudah hampir tiba?"
"Saya tahu, saya tahu," sahut Jibrail tergagap."
" Beri aku berita bagaimana hakku di hadapan Allah nanti." kata Nabi.
Jibrail menjawap: "Pintu-pintu langit telah terbuka. Para malaikat berbaris berlapis-lapis menunggu kehadiran rohmu. Seluruh gerbang surga juga telah terbuka bagi tempat semayam nyawamu."
Mendengar berita ini Nabi masih suram. Wajahnya tetap gelap dan gelisah.
"Jibrail, bukan berita itu yang ku inginkan. Beritahu aku betapa keadaan umatku esok pada hari kiamat?" tanya nabi dengan cemas.
Jibrail menjawap, "Wahai, Rasulullah. Tuhan berfirman! Aku haramkan surga dimasuki oleh para nabi sampai engkau, Muhamad. masuk lebih dulu ke dalamnya. Dan aku haramkan umat para Nabi masuk ke dalam syurga sampai umatmu, Muhamad, masuk lebih dahulu ke dalamnya.
Barulah Nabi nampak berseri-seri wajahnya. Beliau merasa aman dan tenteram kerana ternyata umatnya mendapat hak serta tempat istimewa di hadapan Allah. Mulutnya mulai memuncut itu menyungging senyum. Dan senyum itu diberiaknnya juga kepada malakul-maut ketika beliu mempersilakan sang pencabut nyawa untuk mendekat melaksanakan tugasnya.
Suasana sedih menggantung berat di ruangan yang sempit itu Angin Kota Madinah yang menyebarkan hawa dingin tetapi kering dan garan tambah menusuk lagi hingga ketulang. Matahari sejengkal demi sejengkal makin tinggi, sementara dengan segala perang perasaannya malakul-maut mulai mencabut nyawa Nabi dari arah kepala.
Nabimeregang-regang tatkala nya beliu sampai ke pusat. Jidat dan sekujur mukanya bersimbah peluh. Urat-urat di wajahnya menegang dari detik ke detik. Sambil bibirnya tergigit Nabi berpaling ke arah JIbrail beliu menjerit, " Ya, Jibrail, betapa sakit nian. Ohh, alangkah dahsyatnya derita sakaratulmaut ini."
Jibrail cepat memaling muka. Hatinya bergolak melihat peristiwa itu.
"Ya, Jibrail, mengapa engku berpaling? apa engkau benci melihat mukaku. Jibrail?" tanya Nabi dengan cemas.
"Tidak, Ya Rasulullah," sahut petugas pembawa wahyu itu.
Dipegangnya tangan Nabi sambil berkata, "Siapakah yang tega hatinya menyaksikan kekasih Allah dalam keadaannya semacam ini? Siapakah yang sampai hati melihat engkau dalam kesakitan?
Agaknya rasa sakit itu kian memuncak. Sekujur badan Nabi menggigil. Wajahnya makin memmutih. Dan Urat-uratnya tambah menegang. Dalam penanggungannya yang sangat. Nabi berteriak, "Tuhanku, langkah sakitnya, wahai Tuhanku. Timpakanlah kesakitan maut ini hanya kepadaku dan jangan kepada umatku."
Jibrail tersentak. air matanya serentak menitis. Begitu agungnya peribadi sang Terpilih. Dalam detik-detik yang paling tenat dan tersiksa, bukan kepentingan dirinya. Kepentingan umatnya yang didahulukan. Andai kata Muhamad menuntut agar kesakitan itu dicabut, pasti tuhan akan mengabulkan permintannya. Namun ia lebih memilih menjadi tumbal agar derita itu jangan menekan umatnya. Makhluk mana yang memiliki ketinggian budi semacam Muhamad.
Jibrail lantas teringat pada waktu malaikat penjaga gunung minta izin kepada Nabi untuk menghancurkan penduduk Thaif. Akan tetapi bumi, digoncangkan gempa supaya mereka terbenam semua sebagai balasan bagi untuk tidak aniaya mereka kepada Nabi. Namun, dengan sabarnya Muhamad menjawap. "Ah jangan sekeras itu. Siapa tahu kalau bapa-bapa mereka tidak mahu masuh Islam, anak-anaknya bakal mahu? Dan jika anak-anaknya bakal mahu? Dan jika anak-anaknya tidak mahu juga, ku harapkan cucu-cucu mereka akan menerima Islam sebagai agamanya."
Pada waktu Jibrail menyedari kembali akan keadaan sekelilingnya, malakul-maut telah merenggut nyawa Nabi sampai ke dada. Nafasnya Nabi dengan suara menggigil dan pandangan yang redup, menenguk ke arah sahabat-sahabatnya dan berkata, "Uushiikum bissholaati wa maa malakat aimaanukum. Aku wasiatkan kepadamu sembahyang dan orang-orang yang menjadi tanggunganmu. Budakmu pembantumu, peliharalah merek baik-baik."
Kemudian keadaan pun tambah menggawat. Para sahabat sudah berpeluk-pelukan satu sama lain, saking tidak kuat menahan kesedihan. Badan Nabi berubah menjadi dingin. Hampir seluruhnya tidak bergerak-gerak lagi. Matanya yang berkaca-kaca hanya terbuka sedikit. Mata itu menatap kelangit, jari-jarinya tertegak dengan kaku.
Pada saat menjelang akhir nafas beliau, Ali bin Abi Thalib menampak Nabi menggerakkan bibirnya yang sudah biru dua kali. Cepat-cepat Ali mendekatkan telinganya ke bibir Nabi. Ia mengdengar Nabi memanggil-manggil, "Umatku...umatku..."
Dalam memanggil-manggil inilah Nabi Wafat pada hari Isnin bulan Rabi'ul Awal. Meledaklah tangis berkabung kesegenap penjuru. Seorang Juru Selamat telah mangkat cintanya kepada umat dibawanya hingga ke akhir hayat, dan akan dibawanya sampai ke Padang Mahsyar.
Muhasabah cinta: Betapa ana selalu lupa akan pengorbanan agung dirimu ya Rasulullah.. Astagfirullah Al-Azim.. maafkan ana ya Allah